A. Nilai Tukar
1.
Definisi Nilai Tukar
Definisi nilai tukar atau kurs (foreign exchange
rate) antara lain dikemukakan oleh Abimanyu adalah harga mata uang suatu
negara relative terhadap mata uang negara lain.[1] Karena nilai tukar ini
mencakup dua mata uang, maka titik keseimbangannya ditentukan oleh sisi
penawaran dan permintaan dari kedua mata uang tersebut.
Pengertian lain dari nilai tukar ditulis oleh Olivier
Blanchard dalam bukunya ”Macroeconomics” adalah:
”Nominal exchange rate as the price of the domestic
currency in term of foreign currency”.[2]
Frank J. Fabozzi dan Franco Modigliani memberikan
defenisi mengenai nilai tukar sebagai berikut:
”An exchange rate is defined as the amount of one
currency that can be exchanged per unit of another currency, or the price of
one currency in terms of another currency”.[3]
Dapat disimpulkan dari beberapa definisi diatas bahwa
nilai tukar adalah sejumlah uang dari suatu mata uang tertentu yang dapat
dipertukarkan dengan satu unit mata uang negara lain.
2.
Cara Menyatakan Nilai Tukar
Menurut Abimanyu, ada
dua cara untuk menyatakan nilai tukar, yaitu:
a) Model Eropa (Indirect quote)
Model tersebut adalah cara yang paling umum dipakai
dalam perdagangan valuta asing antar bank seluruh dunia. Nilai tukarnya ditetapkan
dengan menghitung berapa unit uang asing yang dibutuhkan untuk membeli satu
unit mata uang dalam negeri.
b) Model Amerika (direct quote)
Model tersebut didefinisikan sebagai harga mata uang
asing dalam mata uang domestik, atau berapa besar nilai rupiah yang digunakan
untuk membeli satu mata uang asing. Metode tersebut dipakai di Indonesia.
3.
Bentuk Sistem Nilai Tukar
Sistem nilai tukar sangat tergantung pada kebijakan
moneter suatu negara. Bentuk sistem nilai tukar dapat dibagi dalam dua bentuk (Berlianta,
2004), yaitu:
1. Fixed Exchange Rate
System
Merupakan suatu sistem nilai tukar dimana nilai suatu
mata uang yang dipertahankan pada tingkat tertentu terhadap mata uang asing.
Dan bila tingkat nilai tukar tersebut bergerak terlalu besar maka pemerintah
melakukan intervensi untuk mengembalikannya. Sistem ini mulai diterapkan pada
pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan digelarnya konferensi mengenai
sistem nilai tukar yang diadakan di Bretton Woods, New Hampshire pada tahun
1944.
2. Floating Exchange Rate
System
Setelah runtuhnya Fixed Exchange Rate System maka
timbul konsep baru yaitu Floating Exchange Rate System. Dalam konsep ini nilai
tukar valuta dibiarkan bergerak bebas. Nilai tukar valuta ditentukan oleh
kekuatan permintaan dan penawaran valuta tersebut di pasar uang.
Fakta yang terjadi di banyak negara di dunia menganut
varians dari kedua sistem pokok nilai tukar diatas. Menurut Gilis (1996), dalam
Abimayu ,[4] terdapat enam sistem
nilai tukar berdasarkan pada besarnya intervensi dan candangan devisa yang dimiliki
bank sentral suatu negara yang dipakai oleh banyak negara di dunia antara lain:
1)
Sistem Nilai Tukar
Tetap (fixed exchange rate)
Dalam sistem ini otoritas moneter selalu
mengintervensi pasar untuk mempertahankan nilai tukar mata uang sendiri
terhadap satu mata uang asing tertentu. Intervensi tersebut memerlukan cadangan
devisa yang relatif besar. Tekanan terhadap nilai tukar valuta asing, yang
biasanya bersumber dari defisit neraca perdagangan, cenderung menghasilkan
kebijakan devaluasi.
2)
Sistem Nilai
Mengambang Bebas (free floating exchange rate)
Sistem ini berada pada kutub yang bertentangan dengan
sistem fixed. Dalam sistem ini, otoritas moneter secara teoritis tidak
perlu mengintervensi pasar sehingga sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa
yang besar. Sistem ini berlaku di Indonesia saat ini.
3)
Sistem Wider Band
Pada sistem tersebut nilai tukar dibiarkan mengambang
atau berfluktuasi diantara dua titik, tertinggi dan terendah. Apabila keadaan
perekonomian mengakibatkan nilai tukar bergerak melampaui batas tertinggi dan
terendah tersebut, maka otoritas moneter akan melaksanakan intervensi dengan
cara membeli atau menjual rupiah sehingga nilai tukar rupiah berada diantara
kedua titik yang telah ditentukan.
4)
Sistem Mengambang
Terkendali (Managed Float)
Dalam sistem ini, otoritas moneter tidak menentukan
untuk mempertahankan satu nilai tukar tertentu. Namun, otoritas moneter secara
kontinyu melaksanakan intervensi berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya cadangan
devisa yang menipis. Untuk mendorong ekspor, otoritas moneter akan melakukan
intervensi agar nilai mata uang menguat.
5)
Sistem Crawling Peg
Otoritas moneter dalam sistem ini mengaitkan mata uang
domestik dengan beberapa mata uang asing. Nilai tukar tersebut secara periodik
dirubah secara berangsur-angsur dalam persentase yang kecil. Sistem ini dipakai
di Indonesia pada periode 1988-1995.
6)
Sistem Adjustable
Peg
Dalam sistem ini, otoritas moneter selain berkomitmen
untuk mempertahankan nilai tukar juga berhak untuk merubah nilai tukar apabila
terjadi perubahan dalam kebijakan ekonomi.
4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar
Dalam sistem nilai tukar tetap, mata
uang lokal ditetapkan secara tetap terhadap mata uang asing. Sementara dalam
sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar atau kurs dapat berubah-ubah setiap
saat, tergantung pada jumlah penawaran dan permintaan valuta asing relatif
terhadap mata uang domestik. Setiap perubahan dalam penawaran dan permintaan
dari suatu mata uang akan mempengaruhi nilai tukar mata uang yang bersangkutan.
Dalam hal permintaan terhadap valuta
asing relatif terhadap mata uang domestik meningkat, maka nilai mata uang
domestik akan menurun. Sebaliknya jika permintaan terhadap valuta asing
menurun, maka nilai mata uang domestik meningkat. Sementara itu, jika penawaran
valuta asing meningkat relatif terhadap mata uang domestik, maka nilai tukar mata
uang domestik meningkat. Sebaliknya jika penawaran menurun, maka nilai tukar
mata uang domestik menurun.
Dilihat dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya, terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta
asing, yaitu:
1. Faktor pembayaran
impor
Semakin tinggi impor barang dan
jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar
akan cenderung melemah. Sebaliknya, jika impor menurun, maka permintaan valuta
asing menurun sehingga mendorong menguatnya nilai tukar.
2. Faktor
aliran modal keluar
Semakin besar modal keluar, maka
semakin besar permintaan valuta asing dan pada lanjutannya akan melemah nilai
tukar uang. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia
(baik swasta dan pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk
Indonesia ke luar negeri.
3.
Kegiatan
spekulasi
Semakin banyak kegiatan spekulasi
valuta asing yang dilakukan oleh spekulannnnn maka semakin besar nilai
permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang
lokal terhadap mata uang asing.
Sementara itu, penawaran valuta
asing dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu:
o
Faktor
penerimaan hasil ekspor
Semakin besar volume penerimaan
ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki
oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai tukar terhadap mata asing
cenderung menguat atau apresiasi. Sebaliknya jika ekspor menurun, maka jumlah
valuta asing yuang dimiliki menurun sehingga nilai tukar juga cenderung mengalami
depresiasi.
o
Faktor
aliran modal masuk
Semakin besar aliran modal masuk,
maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut
dapat berupa penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh
pihak asing (Portofolio invesment)dan investasi langsung pihak asing (foreign
direct investment).
B. Teori Nilai Tukar Uang Konvensional
Definisi nilai tukar atau kurs (foreign
exchange rate) antara lain dikemukakan oleh Abimanyu dalam bukunya ‘Memahami kurs valuta asing’ adalah harga
mata uang suatu negara relative terhadap mata uang negara lain. Karena nilai
tukar ini mencakup dua mata uang, maka titik keseimbangannya ditentukan oleh
sisi penawaran dan permintaan dari kedua mata uang tersebut.
Exchange rates (nilai tukar uang)
atau yang lebih popular di kenal dengan sebutan kurs mata uang adalah catatan
(quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign currency) dalam harga
mata uang domestik (domestic currency) atau resiprokalnya, yaitu harga mata
uang domestic dalam mata uang asing. Nilai tukar uang merepresentasikan tingkat
harga pertukaran dari satu mata uang ke mata uang yang lainnya dan di gunakan
dalam berbagai transaksi, antara lain
transaksi perdagangan internasional, turisme, investasi internasional ataupun aliran uang jangka pendek
antarnegara, yang melewati batas-batas geografis ataupun batas-batas hukum.
Nilai tukar suatu mata uang dapat di
tentukan oleh pemerintah (otoritas moneter), seperti pada Negara-negara yang
memakai system fixed exchange rates ataupun di tentukan oleh kombinasi
antara kekuatan-kekuatan pasar yang saling berinteraksi serta kebijakan
pemerintah seperti pada Negara-negara yang memakai rezim system ‘flexible
exchange rates.
Karena setiap negara memiliki
hubungan dalam investasi dan perdagangan dengan negara lain, tidak ada satu pun
nilai tukar yang dapat mengukur secara memadai daya beli (purchasing power)
mata uang domestik atas mata uang asing secara umum. Oleh karena itu sejumlah
konsep nilai tukar uang yang efektif telah dikembangkan untuk mengukur
rata-rata tertimbang (weighted average) harga mata uang asing dalam mata uang
domestik.[5]
Ø Purchasing Power Parity[6]
Definisi dari purchasing
power parity (paritas daya beli) atau PPP adalah suatu kondisi dimana harga
dari suatu barang yang dapat di perdagangkan (tradable goods) dalam suatu mata uang seharusnya sama
di manapun barang itu di beli. Katakanlah jika suatu barang yang identik dapat
di beli di dua Negara dimana tidak terdapat biaya transaksi (transaction cost),
biaya transportasi (transportation cost), serta tidak ada halangan perdagangan
(trade barrier), sehingga dapat di katakanan sebagai tradable goods. Jika
kondisi arbitrase (arbitrage condition = kondisi di mana tidak terdapatnya
kesempatan untuk membeli suatu barang dengan harga rendah dan menjualnya lagi dengan harga yang lebih tinggi) terjadi
untuk setiap barang secara individual, maka kondisi arbitrase ini akan terjadi
juga untuk sekelompok barang (basket of goods) dalam jumlah yang
representative, sehingga dapat di turunkan persamaan sebagai berikut:
P = e p’
Di mana; P= tingkat harga domestic (domestic price)
p’= tingkat harga luar negeri (foreign price)
e= nilai tukar uang
Persamaan di atas adalah apa yang di namakan dengan ‘persamaan paritas daya beli’ atau
purchasing power parity equation yang menyatakan bahwa rupiah sejumlah x di
Indonesia akan mempunyai daya beli yang sama di singapura. Ini akan sejalan
dengan asumsi bahwa semua barang dapat di perdagangkan dan terdapatnya kondisi
arbitrase yang menjamin setiap individual dapat menjual barang dengan harga
yang sama di manapun juga.
Low of One Price (LOP) atau hukum satu harga menyebutkan
bahwa didalam suatu pasar persaingan yang tidak ada biaya transportasi serta
bebas dari hambatan perdagangan, maka suatu barang yang identik akan mempunyai
harga yang sama jika nilai dalam suatu mata uang tertentu. Perbedaan antara PPP dan LOP adalah jika LOP
di aplikasikan di komoditas individual sedangkan PPP di palikasikan untuk
tingkat harga secara umum ( komposit harga dari keseluruhan komoditas yang
masuk dalam kumpulan yang menjadi referensi).
Nilai tukar riil uang suatu Negara adalah jumlah dari barang
domestic yang di butuhkan untuk membeli satu unit barang yang sama (identik) di
luar negeri. Persamaannya adalah sebagai berikut :
Real Exchange Rate =
e p’/ P
Jika nilai tukar riil >1 , maka lebih dari 1 unit barang
domestic di butuhkan untuk membeli barang luar negeri yang identik. Jika nilai
tukar Riil <1, maka kurang dari 1 unit barang domestic di butuhkan untuk
membeli barang luar negeri yang identik.
Asumsi
utama yang mendasari teori PPP adalah bahwa pasar komoditi merupakan pasar yang
efisien dilihat dari alokasi, operasional, penentuan harga, dan informasi.
Secara implisit ini berarti :
1. Semua barang merupakan barang yang
diperdagangkan di pasar internasional (tradable goods) tanpa
dikenal biaya transportasi sepersen pun;
2. Tidak ada bea masuk, kuota, atau pun hambatan lain dalam
perdagangan internasional;
3. Barang luar negeri dan barang
domestik adalah homogen secara sempurna untuk masing-masing barang;
4. Adanya kesamaan indeks harga yang digunakan untuk menghitung
daya beli mata uang asing dan domestik, terutama tahun dasar yang digunakan dan
elemen indeks harga.
C. Teori Nilai Tukar Uang dalam Islam
Nilai tukar
suatu mata uang di dalam Islam di golongkan dalam dua kelompok, yaitu: Natural
dan Human. Dalam pembahasan nilai tukar menurut islam akan dipakai dua scenario
yaitu:
1.
Terjadi
perubahan-perubahan harga dalam negeri yang memengaruhi nilai tukar uang.
Sebab-sebab fluktuasi sebuah mata uang dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Natural
Exchange Rate Fluctuation
1)
Fluktuasi
nilai tukar uang akibat dari perubahan – perubahan yang terjadi pada permintaan
agregatif ( AD ). Expansi AD akan mengakibatkan naiknya tingkat harga secara
keseluruhan ( P ),
seperti kita ketahui bahwa: P = e P, jika
tingkat harga dalam negeri naik, sedangkan tingkat harga di luar negeri tetap,
maka nilai tukar mata uang akan mengalami depresiasi. Sebalik nya jika AD
mengalami kontraksi maka tingkat harga akan mengalami penurunanyang akan
mengakibatkan nilai tukar akan mengalami apresiasi.
2)
Fluktuasi
nilai tukar uang akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada penawaran
agregatif (AS). Jika AS mengalami kontraksi, maka akan berakibat pada naiknya
tingkat harga secra keseluruhan, yang kemudian akan mengakibatkan melemahnya
(depresiasi) nilai tukar. Sebaliknya jika AS mengalami expansi maka akan
berakibat pada turunya tingkat harga secara keseluruhan yang akan mengakibatkan
menguatnya nilai tukar.
b.
Human Error
Exchange Rate Fluctuation
1)
Corruption
dan Bad Administration yang buruk akan mengakibatkan naiknya harga akibat
terjadinya Missallocation of Resources serta Mark-up yang tinggi yang harus
dilakukan oleh produsen untuk menutupi biaya-biaya siluman dalam proses
produksinya.
2)
Excesssive
Tax yang sangat tinggi yang dikenakan pada barang dan jasa akan meningkatkan
harga jual dari barang dan jasa tersebut.
3)
Excessive
Seignorage, pencetak full-bodyed money atau 100% reserve money tidak akan
mengakibatkan terjadinya inflasi. Akan tetapi jika uang yang dicetak selain
dari kedua jenis itu maka akan menyebabkan kenaikan tingkat harga secara umum.
2.
Perubahan
harga yang terjadi diluar negeri
Perubahan
harga yang terjadi diluar negeri bisa digolongkan karena 2 sebab yaitu:
a.
Non
engineered/ non manifulated changes
Disebut
sebagai non eminered/non manifulated changes adalah karena perubahan yang
terjadi bukan disebabakan oleh manipulasi (yang dimaksudkan untuk merugikan)
oleh pihak-pihak tertentu. Misalkan jika bank central singapura (BSS)
mengurangi jumlah uang SGD yang beredar, hal tersebut akan mengakibatkan IDR
terdepresiasi tanpa diduga. Oleh karena itu BI biasanya akan menghilangkan efek
ini dengan menjual SGD yang dimilikinya (cadangan devisa) baik dengan cara
strilised intervention maupun dengan cara unsterilized intervention.
b.
Enginered /
Manipulated changes
Disebut sebagai enginered /
manipulated changes adalah karena perubahan yang terjadi disebabkan oleh
manipulasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang dimasudkan untuk
merugikan pihak lain. misalnya para fund manager disingapura melepas IDR yang
dimilikinya sehingga terjadi banjir rupiah yang mengakibatkan nilai tukar
rupiah mengalami depresiasai secar tiba-tiba atau drastis diluar perkiraaan BI.
D. Sejarah Perkembangan
Sistem Nilai Tukar di Indonesia
Dalam sejarah perekonomian Indonesia sistem nilai
tukar di Indonesia pada intinya dikelompokkan menjadi empat bagian. Penetapan
sistem nilai tukar oleh Bank Indonesia didasarkan pada berbagai pertimbangan,
khususnya yang berkaitan dengan kondisi ekonomi pada saat itu. Perry dan
Solikin memaparkan sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia sebagai
berikut:[7]
1)
Sistem Nilai Tukar
Bertingkat (Multiple Exchange Rate System)
Sistem ini dimulai sejak Oktober 1966 hingga Juli
1971. Penggunaan sistem ini dilakukan dalam rangka menghadapi berfluktuasinya
nilai rupiah serta untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing yang hilang
karena adanya inflasi dua digit selama periode tersebut.
2)
Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate
System)
Sistem yang berlaku mulai Agustus 1971 hingga Oktober
1978 ini mengaitkan secara langsung nilai tukar rupiah dengan dollar Amerika
Serikat yaitu tarif US$1 =Rp415,00. Pemberlakuan sistem ini dilandasi oleh
kuatnya posisi neraca pembayaran pada kurun waktu 1971-1978. Neraca pembayaran
tersebut kuat karena sektor migas mempunyai peran besar dalam penerimaan devisa
ekspor yang didukung oleh peningkatan harga minyak mentah (masa keemasan
minyak).
3)
Sistem Nilai Tukar
Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate)
Sistem ini belaku sejak November 1978 sampai Agustus
1997. Pada masa ini nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan dolar
Amerika Serikat akan tetapi terhadap sekeranjang mata uang asing (basket currency).
Pada periode ini telah terjadi tiga kali devaluasi yaitu pada bulan November
1978, Maret 1983, dan September 1986. Setelah devaluasi tahun 1986, nilai
nominal rupiah diperbolehkan terdepresiasi sebesar 3-5% per tahun untuk
mempertahankan nilaitukar riil yang lebih baik. Pada sistem ini, nilai tukar
dibagi dalam tiga periode yaitu:
a. Managed Floating I (1978-1986), terjadi fluktuasi
nilai tukar yang tidak terlalu besar dengan nilai kurs berkisar antara Rp625,38
hingga Rp1.644,10. Periode tersebut lebih didominasi oleh ketidakpastian
manajemen dari Bank Indonesia dibandingkan ketidakpastian floating karena
situasi perekonomian pada saat tersebut belum berkembang. Hal ini dapat dilihat
oleh adanya pergerakan nilai tukar nominal yang relatif tetap dan perubahan
relatif baru terjadi pada tahun-tahun dimana Indonesia melakukan devaluasi
rupiah.
b. Managed Floating II (1987-1992). Pada periode ini
juga terjadi devaluasi walaupun tidak terlalu besar dengan nilai kurs antara
Rp1.644,10 hingga Rp2.053,40. Namun pada periode ini, unsur floating lebih
dominan dibandingkan ketidakpastian manajemen. Artinya, peran Bank Indonesia
dalam melakukan intervensi pada pasar uang lebih sedikit dibandingkan
pergerakan kurs yang ditentukan oleh pasar uang itu sendiri. Pemilihan strategi
ini dalam rangka menjaga daya saing produk ekspor melalui pergerakan mata uang
dalam kisaran sempit.
c. Managed Floating dengan Crawling
Band Sistem (September 1992-Agustus 1997), terjadi depresiasi nilai
tukar yang kisarannya antara Rp2.053,40 hingga Rp2.791,30. Pada periode
ini unsur floating semakin diperlakukan dengan kisaran yang
semakin lebar. Pada 1 September 1992, Bank Indonesia menetapkan rentang
intervensi Rp10 dengan batas bawah Rp2.035 dan batas atas Rp2.045.
Kemudian pada tanggal 11 Juli 1997 (akhir periode), Bank Indonesia
akhirnya memperlebar rentang intervensi menjadi Rp304 dengan batas bawah
Rp2.378 dan batas atas Rp2.682. Dengan demikian Bank Indonesia secara
berkesinambungan melakukan pelebaran band intervention secara
bertahap dan akhirnya band intervension dihapus sehingga rupiah lebih
floating dibandingkan periode sebelumnya.
4)
Sistem Mengambang
Bebas (Free Floating Exchange Rate System)
Sistem ini diberlakukan sejak 14 Agustus 1997 hingga
sekarang. Dalam sistem ini Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta
asing karenasemata-mata untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang lebih
banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Awalnya, penerapan sistem nilai tukar
mengambang ini menyebabkan terjadinya gejolak yang berlebihan (overshooting).
Misalnya kurs pada tangga 14 Agustus melemah tajam
menjadi Rp 2.800 per dolar dari
posisi Rp 2.650 per dolar pada
penutupan hari sebelumnya. Banyak factor yang menyebabkan nilai tukar rupiah
terus merosot, mulai dari aksi ambil untung (profit taking) oleh pelaku
pasar, tingginya permintaan perusahaan domestic terhadap dolar untuk pembayaran
hutang luar negeri yang jatuh tempo, memburuknya perkembangan perbankan
nasional, maupun oleh sebab-sebab lain.
[4] Yoopi
Abimanyu, Op Cit, hlm. 8-10
[5] Karim, Adiwarman A (2002), Ekonomi Islam; suatu Kajian Ekonomi
Makro, IIIT Indonesia : Jakarta hlm. 87.
[6] Karim, Adiwarman A (2010), Ekonomi Makro Islami edisi ketiga,
PT Rajagrafindo Persada : Jakarta hlm. 158.
[7] J.Madura, International Financial
Management, 5th Edition (Prentice Hall, New York:1997) hlm. 108-114
0 comments:
Post a Comment